Santi Sardi Pengundang Tangisan

Beberapa waktu lalu saya menonton salah satu film klasik Indonesia yang saya download sendiri yakni Cubit-cubitan, film Elvi Sukaesih dan Ahmad Albar (another OTP :p). Sebuah film lama yang sudah saya tonton sejak kecil namun berbekas berkat penderitaan Elvi Sukaesih dan dua anaknya makanya susah untuk dilupakan. Menonton kembali film Cubit-Cubitan entah kenapa kisahnya tidak semiris waktu menonton saat kecil, mungkin karena sudah banyak FTV yang jauh lebih menderita ketimbang alur Cubit-Cubitan. Ada tapinya, saya tetap menemukan titik sedih dari film Cubit-Cubitan yakni akting para pemeran anak-anak Elvi Sukaesih yang sangat natural itu membuat saya tanpa sungkan meneteskan air mata mumpung tidak ada yang lihat. Belakangan saya ketahui 2 anak itu adalah Santi Sardi dan Lukman Sardi. Siapa yang tidak tertarik melihat aktor keren Lukman Sardi berakting saat masih anak-anak? Saya kagum, Lukman Sardi tampak begitu lugu, manis dan total dalam bergoyang ya maklum Cubit-Cubitan adalah film musikal dangdut. Tapi saya paling tertarik dengan kakaknya Lukman Sardi yakni Santi Sardi. Waktu adegan ibu keduanya “meninggal” Lukman Sardi yang lugu itu asik membuat gundukan dari tanah kuburan ibunya sementara Santi Sardi bernyanyi menangis memegang papan nisan ibunda.

“Hanya tinggal pusara yang aku miliki.. Pusara mu oh mama..” nyanyian Santi Sardi sangat merdu.

Kekaguman terhadap Santi Sardi terus berlanjut. Di film Cubit-cubitan sosoknya sangatlah manis, si manja yang mampu tegar, pandai menyanyi dan paling keren sekaligus salut pada akting si manis sangat natural. Saya jadi ingat film Anak-Anak Tak Beribu, film yang beberapa bulan lalu saya tonton dengan Sardi bersaudara sebagai tokoh utamanya. Karakter Santi Sardi di Cubit-Cubitan dengan di film ini tidak jauh beda yakni kakak penyayang adik-adiknya.

Anak-Anak Tak Beribu merupakan film yang tidak kalah sedihnya. Saya juga menangis menonton film itu pertanda formula “perbedaan dunia orang dewasa dengan dunia anak-anak” belum basi dijadikan tema film asal dikemas dengan bagus menurut saya. Ada 2 hal yang belum saya lupakan mengenai Anak-Anak Tak Beribu, pertama senyum manis Santi Sardi saat menyanyi menari bersama teman-temannya dan yang kedua tatapan Lukman Sardi sesaat sebelum Ajeng meninggal dunia. Tidak lupa pula akting Santi Sardi menangis, menangis adalah keahliannya membuat orang lain untuk ikut menangis.

Membicarakan film klasik Indonesia tentu saja tidak berujung seiring banyaknya film-film klasik yang belum saya tonton seperti filmnya Santi Sardi. Mungkin ada film Santi Sardi lain yang sudah saya tonton tapi lupa hehehe. Apalagi Santi Sardi yang sekarang sudah tidak bermain film lagi dan sejujurnya saya mendukung keputusannya ini. Tersisa Lukman Sardi seorang dan mp3 Gugur Bunga karya biola Idris Sardi di ponsel.

Seperti apakah film “Senyuman di Pagi Bulan Desember”?

Tinggalkan komentar